Wednesday 10 August 2011

Kepedulian Terhadap Data

Data adalah sesuatu yang belum mempunyai arti bagi penerimanya dan masih memerlukan adanya suatu pengolahan. Data bisa berujut suatu keadaan, gambar, suara, huruf, angka, matematika, bahasa ataupun simbol-simbol lainnya yang bisa kita gunakan sebagai bahan untuk melihat lingkungan, obyek, kejadian ataupunsuatu konsep.

Informasi merupakan hasil pengolahan dari sebuah model, formasi, organisasi, ataupun suatu perubahan bentuk dari data yang memiliki nilai tertentu, dan bisa digunakan untuk menambah pengetahuan bagi yang menerimanya. Dalam hal ini, data bisa dianggap sebagai obyek dan informasi adalah suatu subyek yang bermanfaat bagi penerimanya. Informasi juga bisa disebut sebagai hasil pengolahan ataupun pemrosesan data.

Data bisa merupakan jam kerja bagi karyawan perusahaan. Data ini kemudian perlu diproses dan diubah menjadi informasi.

Jika jam kerja setiap karyawan kemudian dikalikan dengan nilai per-jam, maka akan dihasilkan suatu nilai tertentu. Jika gambaran penghasilan setiap karyawan kemudian dijumlahkan, akan menghasilkan rekapitulasi gaji yang harus dibayar oleh perusahaan. Penggajian merupakan informasi bagi pemilik perusahaan. Informasi merupakan hasil proses dari data yang ada, atau bisa diartikan sebagai data yang mempunyai arti. Informasi akan membuka segala sesuatu yang belum diketahui.
 
Dari pengertian diatas dapat kita ketahui bahwa data merupakan suatu komponen terpenting didalam kehidupan kita sehari-hari. Dalam keseharian mungkin kita sering melupakan akan betapa pentingnya data sehingga seringkali kita menyia-nyiakan atau menghambur-hamburkan data.

Harus kita ketahui, bahwasanya Data didunia ini sangatlah banyak oleh karna itu mulai saat ini marilah kita memanage data-data yang kita punya sesuai dengan ketentuan yang sudah ada/berlaku.
 
bisa kita lihat dari ilustrasi gambar dibawah ini :
Jika Kita Ngeprint internet Membacanya perlu 57.000 thn 24 jam membacanya, 7 hari nonstop dan jika membacanya 10min sebelom tidur membutuh kan 8.219.088 thn.

 Jika Kita Ngeprint internet, iya menjadi buku sebesar 1.2 milyar pound dan 10.000 kaki

 Jika Kita Ngeprint internet, memperlukan 45 juta tinta printer, total setengah juta liter tinta, jika itu adalah minyak, bisa memuterkan pesawat 747 untuk 18.000 mil.

Jika Kita Ngeprint internet, memperlukan kertas sebesar setengah pulau Long Island sekitar 700 mil persegi.

Jika anda memakai Printer tinta tunggal, maka anda akan membutuhkan 3085 tahun untuk mencetak semua data di internet.

Jika Kita Ngeprint internet, memperlukan untuk mengorbankan 40.000 pohon, hampir 2kali lipat pohon yg ada di Central Park.
 
 Internet yang asumsinya merupakan bagian dari Data saja jika diprint sudah seperti gambar ilustrasi diatas, bagaimana jika seluruh Data didunia kita print? oleh karna itu marilah sama-sama kita memulai untuk memanage data dengan lebih baik mulai saat ini juga.

GO DATA



Membenahi Sistem Informasi Nasional Dengan E-Goverment

Pada postingan sebelumnya telah dijelaskan bahwa masalah yang sering dihadapi oleh institusi dalam penerapan sistem informasi e‐Government di Indonesia adalah:
  1. Inisiatif TI masih terpencar, akibatnya pemborosan. Dalam penerapan e-Government, masih banyak instansi pemerintah yang berpikir, setelah menentukan critical success factors, masing-masing bagian atau departemen langsung membuat strateginya masing-masing kemudian dirinci menjadi kegiatan yang bersifat taktis operasional. Salah satunya pengadaan perangkat teknologi informasi yang bila tidak dilakukan secara terintegrasi, kemungkinan pemborosan anggaran sangat tinggi. Padahal hasil yang didapatkan tidak sesuai dengan investasi yang telah dikeluarkan
  2. Lack koordinatif. Setiap instansi memiliki keinginan yang berbeda-beda dalam penerapan sistem informasi. Tidak terjalinnya koodinasi yang baik antar instansi mengakibatkan pelaksanaan penerapan sistem informasi dan teknologi informasi tidak berjalan dengan efektif. Karena masingmasing berjalan sendiri tanpa interaksi antar satu bagian dengan bagian lainnya.
  3. Lack detail requirement. Keinginan yang terlalu umum mengakibatkan hasil yang didapatkan tidak spesifik. Karena pada awalnya produk atau jasa yang diinginkan tidak begitu jelas, sehingga setiap individu/departemen yang terlibat tidak tahu persis hasil apa yang diinginkan sebagai keluaran dari suatu proyek aplikasi e-Government. Disamping itu juga, manfaat yang seharusnya didapatkan oleh masyarakat (users) secara signifikan tidak dapat dipenuhi.
  4. Lack political support. Dukungan secara politik sangat mempengaruhi berhasil-tidaknya suatu penerapan aplikasi sistem informasi. Pada kenyataannya suasana politik, terutama yang berkaitan dengan: dukungan dan alokasi anggaran, yang lemah dalam setiap rencana penerapan sistem informasi.
  5. Lack of awareness. Kurangnya kepedulian terhadap keberhasilan e-Government. Pemimpin yang bertanggung jawab dalam penerapan e-Government terkadang kurang memahami kepentingan dari masing-masing stakeholder yang ada dan tidak mau mencoba melakukan kolaborasi agar seluruh perbedaan kepentingan yang dimaksud dapat menuju kepada satu arah pencapaian visi dan misi e-Government (konvergensi). Setiap pemimpin yang bertanggung jawab dalam pengembangan e-Government harus memahami bahwa pihak-pihak yang dianggap sebagai stakeholder utama dalam proyek e-Government antara lain: pemerintah (lembaga terkait dengan seluruh perangkat manajemen dan karyawannya), sektor swasta, masyarakat, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, perusahaan, dan lain sebagainya. Terlepas dari bermacam ragamnya stakehoder yang ada, yang sering terlupakan bahwa pada akhirnya yang akan merasakan manfaat atau berhasil tidaknya e-Government yang dilaksanakan adalah pelanggan.
  6. Lack leadership.Faktor kepemimpinan biasanya melekat pada setiap orang yang bertanggung jawab sebagai pemimpin dari penyelenggaraan suatu penerapan sistem informasi. Namun masih banyak kelemahan dalam hal mengelola.
Beragam tekanan politik yang terjadi terhadap penerapan aplikasi e-Government baik dari kalangan yang optimis maupun yang pesimis. kurangnya sumber daya yang dibutuhkan, seperti misalnya sumber daya manusia, finansial, informasi, peralatan, fasilitas, dan Sejumlah kepentingan dari berbagai kalangan (stakeholders) terhadap e-Government yang sedang atau akan dilaksanakan.

Adapun tahap-tahap yang harus dilakukan agar sistem E-Goverment dapat benar-benar terimplementasi dan berjalan dengan baik pada nantinya yaitu dengan :


 Dengan adanya cara diatas maka pengembang lebih dimudahkan jika ingin membenahi sistem informasi nasional yg masih acak-acakan seperti saat ini.

Sistem Informasi Nasional E-Government

Sistem Informasi Nasional sangatlah dibutuhkan dalam sebuah negara yang akan berkembang. Karena Informasi sangat lah dibutuhkan dalam pemerintahaan untuk saling berkoordinasi contohnya satu departemen ke departemen yang lain.

Berbagai peraturan perundangan di Indonesia telah berupaya untuk melakukan pengaturan dalam hal pemanfaatan teknologi informasi.

Salah satu contoh kepedulian pemerintah dalam informasi bisa dilihat pada beberapa perangkat perundangan antara lain pada GBHN 1994-2004 dan dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas).

Dalam arahan Garis-garis Besar Haluan Negara 1999 – 2004 pada Bab IV tentang Arah Kebijakan, sebagaimana tertulis :

  1. Meningkatkan pemanfaatan peran komunikasi melalui media massa modern dan media massa     tradisional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa; memperkukuh persatuan dan kesatuan; membentuk kepribadian bangsa serta mengupayakan kemanan hak pengguna sarana dan prasarana informasi dan komunikasi.
  2. Meningkatkan kualitas komunikasi di berbagai bidang melalui penguasaan dan penerapan teknologi informasi dan komunikasi guna memperkuat daya saing bangsa dalam menghadapi tantangan global.
  3. Meningkatkan peran pers yang bebas sejalan dengan peningkatan kualitas dan kesejahteraan insan pers agar profesional, berintegritas, dan menjunjung tinggi etika pers, supremasi hukum, serta hak asasi manusia.
  4. Membangun jaringan informasi dan komunikasi antara pusat dan daerah serta antar daerah secara timbal balik dalam rangka mendukung pembangunan nasional serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.
  5. Memperkuat kelembagaan, sumberdaya manusia, sarana dan prasarana penerangan khususnya di luar negeri dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional di forum internasional.
 Dalam Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) 2000 –2004, menyebutkan bahwa :

  • Komunikasi, informasi dan media massa selain mempunyai peran yg sangat menentukan bagi keberhasilan pembangunan sistem politik demokrasi, juga berkaitan erat dgn upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
  • Dalam pembangunan komunikasi, informasi dan media massa dilaksanakan program pengembangan informasi, komunikasi dan media massa, program peningkatan prasarana penyiaran, informatika dan media massa serta program peningkatan kualitas layanan informasi pembangunan.
Gagasan untuk membangun sebuah Sistem Informasi Nasional sebenarnya sudah mulai ada pada era 1997-an ketika telematika masih menjadi wilayah proyek Departemen Dalam Negeri. Cikal bakal Sistem Informasi back office pemerintahan beberapa diantaranya sudah dirintis, seperti Sistem Informasi Kepegawaian, Sistem Informasi Perlengkapan/inventaris dan Sistem Informasi monografi. Ada beberapa hal yang menyebabkan Sistem Informasi tersebut tidak dapat berlanjut hingga saat ini antara lain :

  1. Sentralistis pada propinsi. Sistem Informasi dibuat oleh propinsi tanpa adanya standarisasi antar propinsi sehingga sulit diintegrasikan secara nasional. Kabupaten tidak memperoleh kesempatan untuk mengembangkan atau sekedar menerima dari pemerintah atasnya.
  2. Sistem Informasi yang single user, sehingga sulit untuk dikerjakan secara kolektif. Pemberdayaan team menjadi sulit dikembangkan. Banyaknya data akan menjadi pekerjaan yang tidak kunjung tuntas dikerjakan oleh sebuah Personal Computer. Sebuah kebijakan yang menumbuhsuburkan ego sektoral
  3. Sebagai suatu teknologi yang relatif baru dalam kalangan pemerintahan, telematika serasa dipaksakan untuk diimplementasikan secara top down tanpa memperhatikan kualifikasi personil yang dilibatkan, sehingga berjalan ala kadarnya atau bahkan macet sama sekali.
Kegagalan implementasi Sistem Informasi E-Government pada awal pengembangannya menyebabkan banyak daerah yang menilai proyek telematika hanya sekedar mengikuti tren atau proyek gagah-gagahan saja tanpa menghasilkan sesuatu yang memberi arti bagi pemerintahan. Instruksi sentralistis pusat kepada daerah untuk membentuk institusi daerah dengan nama Kantor Pengolahan Data Elektronik (KPDE) disikapi loyal oleh daerah tanpa memperhatikan siapa-siapa yang layak dipercaya mengembangkan teknologi informasi dalam jajaran pemerintahan. Hal tersebut menyebabkan KPDE sering dianggap sebagai institusi kering, bahkan lembaga pemerintahan “tempat sampah”. Dengan kondisi tersebut tidak heran bila setelah lebih dari sewindu, apa pun nama lembaga pengelolaan data elektronik atau pengelola E-Government kurang mampu memberi banyak arti dalam pemerintahan.

Kini era itu sudah berubah. Pusat tidak lagi punya kuasa besar di daerah. Otonomi memberi kesempatan daerah untuk mengembangkan E-Government-nya tanpa harus “mungguk-mungguk” (baca : membungkuk-bungkukkan badan bak rakyat jelata melihat rajanya) kepada pusat. Sebaliknya, banyak daerah mampu membuktikan bahwa tanpa campur tangan pusat mereka mampu lebih maju, layak untuk membusungkan badan dan memimpin dalam pengembangan E-Government nasional. Membuktikan bahwa daerah mampu lebih maju dibanding Pemerintah pusat. Dan sudah saatnya pusat tidak lagi menganggap pengelola telematika/E-Government daerah sebagai bawahan, namun lebih pantas disejajarkan sebagai partner.

Sebenarnya banyak daerah mencari profile Pemerintahan yang mampu mengkoordinasikan E-Government secara lebih luas. Masih terlalu banyak persoalan dalam pengembangan E-Government, bukan hanya sekedar Sistem Informasi Nasional dan aksi riil justru lebih banyak ditunjukkan oleh daerah melalui komunikasi terbatas antar dua atau beberapa pengelola E-Government daerah.

Kominfo yang memiliki posisi paling strategis lebih banyak berbicara secara makro dan hampir tidak pernah menyentuh sisi teknis yang sebenarnya merupakan ciri khas lembaga Teknologi Informasi. Kebijakan yang dikeluarkan cenderung terlambat.

Serba terlambatnya kebijakan dan strategi pengembangan E-Government nasional menyebabkan pengelola E-Government daerah asyik dengan pengembangan E-Government-nya masing-masing. Namun kondisi ini ternyata justru membuat kesenjangan dalam pengembangan E-Government secara nasional. Hasilnya, kompleksitas integrasi database yang menjadi urat nadi Sistem Informasi Nasional makin menciptakan jurang pemisah antar daerah yang cukup tinggi. Sungguh disayangkan kreatifitas daerah dalam pengembangan Sistem Informasi E-Government justru menyebabkan permasalahan Sistem Informasi Nasional makin kompleks.

Kondisi Sistem Informasi daerah secara nasional serba terlanjur. Banyak daerah membangun Sistem Informasi sesuai kepentingan mereka atau pasrah pada keahlian rekanan yang notabene kurang memahami lika-liku birokrasi pemerintahan dengan berbagai venomena persoalannya. Dari yang sederhana sampai dengan yang sangat kompleks. Tergantung kemampuan analisa pengelola E-Government setempat.

Sebagai sebuah prestasi, kemampuan pengelola E-Government daerah harus diacungi jempol. Mereka mampu membangun sebuah Sistem Informasi yang diantaranya terintegrasi, yang bahkan untuk tingkatan departemen atau Pemerintah pusat pun tidak banyak yang mampu. Tidak hanya back office, front office pun sudah diimplementasikan di beberapa daerah dan berjalan baik.

Lalu, apakah yang akan dilakukan oleh sebuah kebijakan pengembangan Sistem Informasi Nasional? Apakah akan membuat Sistem Informasi yang akan diimplementasikan dengan sebuah tongkat komando ke daerah? Dan mengharapkan daerah akan loyal? Apakah akan membuat komponen-komponen Sistem Informasi yang dapat digunakan dalam pembangunan Sistem Informasi yang berskala nasional?

Dari sisi daerah, bagaimana dengan Sistem Informasi Pemerintah Daerah yang sudah berjalan dan running well? Apakah harus diganti secara serta-merta? Bagaimana pengaruh terhadap database yang sudah diintegrasikan? Haruskah integrasi database yang sudah membuktikan efektifitas dan efisiensi implementasi E-Government dikorbankan oleh Sistem Informasi nasional yang masih sepotong-sepotong? Bagaimana biayanya? Sementara untuk meng-gol-kan sebuah proyek Teknologi Informasi banyak daerah harus ber”mandi-darah” melawan panitia anggaran dan legislatif yang mayoritas kurang memahami apa itu Teknologi Informasi. Sebuah proyek yang kurang populer untuk sebuah kampanye politik.

Secara nyata kita melihat bagaimana Pemerintah pusat mengalokasikan Milyard-an rupiah untuk membangun sebuah Sistem Informasi dan tidak jarang mengarahkan beberapa daerah untuk menjadi pilot project. Beberapa kegagalan implementasi pilot project tidak jarang ditimpakan kesalahannya kepada daerah dengan berbagai alasan seperti ketidakbecusan personil daerah untuk menerima transformasi Teknologi Informasi, ketiadaan dukungan dana pendamping daerah, dan lain-lain. Lalu, seperti apakah bentuk Sistem Informasi Nasional itu?

Namun, bagaimana pun juga harus ada keberanian untuk mengambil langkah strategis guna membangun sebuah E-Government Nasional karena kita adalah NKRI. Harus ada keinginan untuk memberi dan menerima. Posisi strategis berada di Pusat, Kominfo tentunya. Hanya saja perlu dibuat sebuah action plan yang jelas. Batasan pengertian antara komunikasi dan informasi ala Departemen penerangan dan telematika yang memang secara background ilmiah berbeda harus ditegaskan. Kominfo harus berani berbicara teknis dan kongkrit, bukan sibuk dengan konseptual dan wacana, apalagi tidak melibatkan daerah dalam penyusunan kebijakan atau strategi nasional, sehingga pusat dan daerah tidak sehati meski sebidang pekerjaan.

Upaya riil yang dapat ditempuh antara lain diawali dengan menyusun daftar database yang dibutuhkan dalam skala nasional dan daerah. Kemudian dipilih database yang paling memungkinkan dan menjadi basic dari database E-Government. Selanjutnya disusun draft format standar database & aplikasi E-Government yang mencakup design, struktur database, struktur coding dan sebagainya. Bahkan bila perlu jenis dan penamaan database serta field-field-nya distandarkan, sehingga membantu daerah dalam membangun sebuah Sistem Informasi E-Government. Juga bukan hal yang tabu untuk menetapkan standar waktu pembuatan sebuah aplikasi, agar kemerdekaan melakukan mark up proyek Sistem Informasi E-Government dapat mulai ditekan. 

Upaya ini memang sebuah pekerjaan besar yang tidak mungkin dilakukan oleh pusat sendirian. Karena itu peran daerah sebenarnya lebih diutamakan, sebab tanpa suplay database dari daerah, pusat tidak akan memiliki data nasional yang up to date. Terutama daerah harus mengorbankan Sistem Informasi yang telah dibangunnya untuk dikonversikan ke Sistem Informasi Nasional. Untuk membantu daerah agar tidak kacau, perlu dipertimbangkan untuk membangun sebuah sistem konversi database yang didukung oleh team nasional yang handal.
  
Database exchange menjadi pekerjaan lanjutan setelah beberapa tahap implementasi Sistem Informasi Nasional menunjukkan hasil. Pertimbangan ketersediaan dan kemampuan membangun infrastruktur menjadi pertimbangan yang seharusnya dipecahkan secara nasional. Opsi online – offline database exchange harus ditetapkan bila disandarkan pada kemampuan daerah dalam membiaya E-Government-nya. Karena offline menjadi salah satu opsi, maka harus ditetapkan format file yang mampu diakomodir pusat. Pembentukan kelompok kerja-kelompok kerja menjadi solusi efektif.

Jadi, mungkinkah Sistem Informasi Nasional diwujudkan? Tentu saja mungkin, sejauh Sistem Informasi Nasional ditetapkan sebagai proyek nasional, bukan proyek pusat. Perlu dipahami bahwa dalam beberapa daerah dan dalam beberapa segi teknis, daerah lebih unggul dan lebih paham pekerjaannya daripada pusat. Harus diakui bahwa implementator sesungguhnya dari E-Government adalah daerah yang harus mengelola berbagai Sistem Informasi turunan departemental. Sudah selayaknya daerah menjadi partner pusat.

Potensi dan kemampuan daerah dalam implementasi E-Government masih terpendam dan menunggu untuk dimobilisasi dan diberdayakan secara nasional. Pusat selayaknya tergerak untuk mengambil posisi koordinator, atau daerah akan bergerak sendiri membangun Sistem Informasi Nasional dengan proyek yang dibiayai secara urunan. Urunan Project ? Mengapa tidak? Sistem Informasi E-Government Open Source? Bukan hal tabu yang harus dipilih. Terutama dalam kondisi keaungan negara yang relatif tidak stabil ini, sementara Teknologi Informasi dalam jajaran pemerintahan bukan merupakan prioritas penting dalam mewujudkan good governance dan pelayanan umum yang terbaik.